WALLACEA , SURGA BAGI BURUNG MISTERIUS
⊆ 17.14 by verstehen | ˜ 0 komentar »Kawasan Wallacea yang meliputi Kepulauan Sulawesi, Maluku, dan Nusa Tenggara mungkin termasuk kawasan yang kurang dikenal secara ornitologis. Daerah seluas sekitar 350.000 kilometer persegi itu sendiri menjadi jelajahan utama naturalis asal Inggris, Alfred Russel Wallace, yang mendeskripsikan batas-batas zoogeografis di kawasan unik itu.
Tak dinyana, di wilayah yang tergolong miskin burung itu, Wallace, yang namanya diabadikan untuk nama kawasan itu, menemukan beberapa spesies burung.
Perlu diketahui, dalam khazanah burung, Kawasan Wallacea tercatat sebagai rumah dari sedikitnya 697 jenis burung penetap dan migran. Dari jumlah itu, 249 jenis di antaranya merupakan burung endemik. Soal paras, sebagian besar adalah burung-burung cantik yang dijuluki burung-burung surgawi (birds of paradise).
Adapun burung yang ditemukan oleh Wallace di kawasan ini antara lain adalah gosong maluku (Eulipa wallacei), mandar gendang (Habroptila wallacii), walik wallacea (Ptilinopus wallacii), bidadari halmahera (Semioptera wallacei), dan burung kacamata (Zosterops wallacei). Nama taksonomi burung-burung itu memakai nama wallacei atau wallacii di belakang nama marganya karena ditemukan oleh Wallace.
Burung temuan Wallace yang unik antara lain gosong maluku. Burung ini berukuran sebesar ayam kampung, berwarna cokelat dan tersebar di seluruh pulau-pulau besar di Maluku.
Jika sudah cocok dengan tempat untuk bertelur pilihannya itu, burung gosong akan terus memakai tempat itu sampai beberapa generasi. Karena itulah, manusia sudah sangat hafal dan sering mencuri telur burung gosong. Salah satu tempat favorit untuk telur gosong maluku adalah Pantai Galela di Halmahera Utara.
Burung lain temuan Wallace yang luar biasa cantiknya adalah bidadari halmahera atau Wallace’s standardwings. Bidadari yang satu ini tidak seperti bidadari dari kahyangan yang tinggi semampai dan bertutur kata manis. Bidadari halmahera hanya berukuran 25-30 sentimeter, tetapi ia juga mahir menari!
Nama bidadari diberikan oleh penemunya Alfred Russel Wallace, yang langsung terpikat oleh pesona kecantikan burung kerabat cenderawasih yang mahir menari ini. Wallace bertemu dengan burung molek ini di Pulau Bacan pada tahun 1858, dan langsung menyebutnya burung tercantik di kepulauan yang seindah bidadari.
Boleh dibilang, burung bidadari yang berwarna dominan hijau ini merupakan kejutan besar bagi Wallace. Saat itu semua orang tahu bahwa burung cenderawasih hanya ada di Papua, tetapi ternyata Ali—anak Melayu asisten Wallace—menemukan sejenis cenderawasih di Pulau Bacan, Halmahera.
Dalam The Malay Archipelogo: The Land of The Orang-utan and The Birds of Paradise (1869) yang ditulisnya setelah menjelajah Nusantara selama delapan tahun (1854-1862), Wallace melukiskan, sebenarnya keseluruhan bulu burung bidadari tergolong biasa dan sederhana. Warnanya sehijau daun zaitun, dengan sedikit keungu-unguan di ujung dekat ekornya. Kepalanya seperti memakai mahkota karena dihiasi bulu ungu muda berkilat. Leher dan dadanya berwarna hijau mengilat.
Semakin ke bawah, bulu-bulunya seperti terpisah menjadi dua bagian, masing-masing ke arah sayap kanan dan kiri. Kakinya berwarna kuning, paruhnya berwarna seperti tanduk, dan matanya hijau seperti buah zaitun.
Namun, empat helai bulu panjang berwarna putih susu yang keluar dari pangkal sayapnya betul-betul membuatnya memiliki karakter unik. Bulu itu tidak lebar, tetapi sangat lembut dan seperti teranyam pada sayapnya. Bulu setiap helainya sepanjang sekitar enam inci itu menjulur hanya pada saat-saat tertentu yang diinginkan burung.
Yang pasti, antena putih susu itu hanya dimiliki oleh burung jantan. Bulu indah itu terjulur terutama pada saat fajar menyingsing, saat bidadari jantan beratraksi di ketinggian pohon untuk menarik perhatian pasangannya.
Burung cantik lain temuan Wallace adalah mandar gendang. Sama seperti bidadari, burung ini juga endemik Halmahera. Dinamai "gendang" karena suaranya yang menggelegar seperti gendang. Burung ini juga punya nama alternatif dalam bahasa Inggris yang sangat tepat, yaitu invisible rail, karena meskipun sudah berkali-kali dicari, burung ini tidak ditemukan lagi oleh pengamat burung atau ilmuwan selama bertahun-tahun.
Mandar gendang temuan Wallace ini sekarang sangat langka. Oleh sebab itu, jika kita kehilangan hutan bakau dan rawa sagu di pulau asalnya, bisa jadi burung karismatik ini akan punah sebelum kita bisa lebih mengenal kebiasaan dan sifat khasnya.
Walik wallacea adalah merpati buah yang didapati Wallace di tajuk pepohonan. Anehnya, meskipun berwarna cerah, burung ini susah diamati ketika bertengger diam sambil memetik buah makanan favoritnya. Sering kali tanda pertama kehadirannya ketika dia terbang keluar dari pohon dengan kepakan sayap yang cepat dan berbunyi.
Apabila seekor walik wallacea sudah keluar, pengamat burung yang berpengalaman akan segera mencari kawanan walik yang bersembunyi di antara daun-daunan. Pasalnya, burung ini jarang terbang sendirian.
Garis misterius
Dalam salah satu tulisan yang diberi judul On The Zoological Geography of The Malay Archipelago, Wallace menceritakan keheranannya mendapati kenyataan bahwa gajah, harimau, dan badak hidup hanya di sebelah barat Nusantara. Sebaliknya, kuskus dan kasuari hanya ditemukan di daerah timur. Apalagi burung cenderawasih yang hanya ditemukan di Papua.
Keheranannya makin menjadi melihat di Sulawesi ada binatang-binatang ajaib seperti anoa, babirusa, dan dihe yang tidak dia jumpai di Kalimantan. Padahal, Sulawesi dan Kalimantan hanya terpisah oleh Selat Makassar.
Kejadian dan keheranan paling dramatis dialaminya saat menuju Pasifik Selatan. Di sana Wallace menemukan sejumlah spesies burung (jalak bali) yang hanya berkembang biak di Pulau Dewata itu. Padahal, di Pulau Lombok yang hanya disekat sepotong selat kurang dari 32 kilometer dari Bali, spesies tersebut tidak ditemukan.
Dari keanehan-keanehan yang dilihatnya selama menjelajah Nusantara, Wallace akhirnya menarik kesimpulan bahwa ada semacam garis yang memisahkan flora-fauna di barat dan timur Nusantara. Artinya, ada batas antara flora-fauna di barat yang lebih mirip margasatwa di Asia dengan flora-fauna di timur yang mulai berbau Australia. Dia berhipotesa bahwa garis pemisah itu membentang mulai dari Selat Lombok ke arah Selat Makasar, kemudian membelok ke arah timur melewati Mindanao (masuk wilayah Filipina) dan Sangihe.
Selanjutnya, Wallace mengajukan teori bahwa pada masing-masing sisi "garis maya" tersebut terdapat sejumlah spesies khusus yang mendominasi suatu kawasan ekologis. Sementara pada jarak tertentu dari garis khayal itu—kira-kira 32 kilometer, terdapat spesies lain. Belakangan, Thomas Henry Huxley—seorang guru besar yang sangat gencar menyokong teori Darwin—menyebut garis itu dengan nama Garis Wallace, sesuai dengan nama sang penemu.
Dalam salah satu karya tulis yang dibuat saat di Sarawak (On The Law which Has Regulated The Introduction of New Species), Wallace mengemukakan pendapat bahwa sebenarnya setiap jenis satwa dan tumbuhan yang ada berasal dari spesies terdahulu yang berkerabat dekat. Pada saat itu Wallace belum mempunyai gagasan tentang bagaimana spesies itu berubah dari bentuk pendahulunya sehingga menjadi bentuk yang lebih sempurna.
Tiga tahun lamanya pertanyaan yang juga menjadi pertanyaan dunia itu tak terjawab. Akan tetapi, secara mendadak sekaligus tiba-tiba, Wallace menemukan jawabnya. Dan, kesimpulan itu didapat justru ketika penjelajah itu tengah terbaring lemah karena terserang malaria di Ternate (Februari 1858). Ia menyimpulkan, spesies yang mampu bertahan hanya mereka yang paling kuat dan sehat saja, sedang yang paling lemah dan tidak sempurna harus punah (Slamet Soeseno, 1984).
Jawaban itu tidak disimpannya sendiri, melainkan dikirimkan kepada ilmuwan pujaannya, Charles Darwin. Darwin saat itu sudah meyakini bahwa makhluk hidup berevolusi dari bentuk purba sampai ke bentuknya yang sekarang selama berjuta-juta tahun.
Ketika menerima surat Wallace, Darwin pun kagum karena ia sendiri tengah bersiap menyampaikan teori itu setelah meneliti selama belasan tahun. Dia jadi ragu, benarkan dia pencetus teori evolusi, sementara Wallace juga sudah menyampaikannya.
Meskipun dunia lebih mengakui dirinya sebagai pencetus Teori Evolusi, Darwin merasa tak enak hati pada Wallace. Maka, dalam pertemuan ilmiah ahli ilmu hayat sedunia pada 1 Juli 1858, setelah menyampaikan teorinya, Darwin membacakan surat Wallace sebagai makalah tambahan.
Sampai saat ini, hampir 150 tahun sejak teori itu terpublikasi, Garis Wallace masih tetap lestari. Kawasan Wallacea pun masih menjadi surga burung Nusantara, sama seperti saat Wallace menjelajahnya 1,5 abad silam.